Singkirkan Ego dari Persahabatan
Suara deru kaki berlari terdengar dari luar kelas. Semakin lama suara itu semakin mendekati ruang kelas kuliah. "eh eh , dengerin-dengerin pasti deh itu Febri. 1.... 2.... 3...." Arna membisikkan itu di telinga kanan teman baiknya, Hario. Io begitu dipanggilnya, hanya memperhatikan pintu kelas sampai terbuka sambil memegang buku Manajemen di meja. Daaaan …
"maaf pak , saya terlambat. Masih boleh masuk kan pak ?'', sambil cengengesan, Febri mengeluarkan kalimat itu ke dosen yang dikenal killer.
“kamu tidak lihat sekarang jam berapa?”, pak dosen menolehkan kepalanya ke arah Febri sehingga urung menuliskan materi ke whiteboard. “untuk kali ini, kamu saya maafkan. Duduk sana”.
“Terima kasih pak. Pak Sony Baik.”, tetap dengan ketidak seriusannya itu ia jalan ke arah kursinya yang berada tepat di samping kiri Arna.
Yaaaah begitulah Febri, sahabat Arna sejak SMP. Febri, cewek satu ini emang grasak-grusuk dan cerewet. Sekali Arna atau Io mengucap satu kalimat, tapi dia membalasnya dengan berderet-deret kalimat. Jadinya kayak petasan Betawi. Eiiittsss, jangan salah cewek kayak dia fanatic bola juga lho.
Sahabat Arna bukan Febri aja. Hario, atau panggilan akrabnya Io, dia juga sahabat Arna dari SMP. Io cowok yang cerdas dan berpengetahuan se-gudang. Mau bahas apapun, dari olahraga sampai fashion-pun, Io bakal tau. Tapi ada satu jeleknya si cowok satu ini. Io terkenal dengan sifat dingin-nya, sampe-sampe di panggil The Ice Guy. Bukan Febri atau Arna yang bikin sebutan itu, tapi temen-temen se-kampus. Namun, dari Febri dan Arna, memang Io lah yang paling dewasa dan selalu menjadi penengah.
Arna seorang gadis yang flat. Arna pendiam, pinter banget enggak, bodoh juga enggak. Arna suka nonton bola, itupun terpengaruh oleh Febri karna dia sering mengajakku nonton bareng. Meskipun tim kesayangan kita berbeda. Febri is a True Blue Fans, and Arna is a Liverpudlian. Ada satu sebutan Febri dan Io kepada Arna, Arna seorang yang Idealis. Sekali terpaku dengan sesuatu aturan, Arna gak bakal melanggarnya. Atau mungkin Arna bias dibilang ‘terlalu patuh’. Sebenarnya gak banyak yang istimewa dari Arna. Tapi Arna selalu istimewa di mata sahabat-sahabatnya, yaitu Febri dan Io. Karna hanya mereka yang mengerti Arna.
Arna selalu merasa, mereka adalah soulmates. Baru sadar yah kalo Io jadi cowok satu-satunya antara Arna dan Febri. Yang namanya Io si The Ice Guy, dia tak peduli dengan hal itu. Yang ia pedulikan hanya kesetiaan dalam balutan persahabatan yang hangat. Persahabatan mereka terjalin sejak SMP, meskipun mereka tidak satu SMA. Hanya Io yang berbeda SMA. Febri dan Arna sekolah di SMA yang sama. Meski berbeda SMA, Arna, Febri dan Io tetap menjalin komunikasi mereka. Dan ternyata, mereka dipertemukan kembali di satu Universitas yang sama.
Hari ini, selesai perkuliahan pukul 10. Cukup pagi untuk seorang mahasiswa yang mengambil 23 SKS di semester ke 3. Mereka bertiga kuliah di jurusan yang sama dan di universitas yang sama yaitu jurusan Manajemen di Universitas Nugratama di Surabaya. Mereka kuliah di universitas yang sama bukan karna ikut-ikut-an, tapi memang disuruh sama orang tua mereka masing-masing. Tapi, untuk jurusan mereka memang memilih sendiri walaupun akhirnya bertemu kembali di satu jurusan.
Sepulang kuliah, tidak seharusnya mereka langsung pulang. Mereka punya kegiatan masing-masing. Febri yang hobby dengan bola-nya, selalu kumpul dengan komunitas Bola yang ada di kampus. Io pun begitu. Dengan sifatnya yang dingin, ia hanya ingin menyendiri dan berkutat dengan buku-buku kesayangannya di perpustakaan. Sesibuk apapun dia, pasti akan ada waktu untuk membaca buku.
Arna… Yaaah Arna ikut kegiatan kampus yang sering disebut Extrakurikuler. Arna termasuk anggota dalam BEM, Badan Eksekutif Mahasiswa. Bukan hanya anggota, tapi Arna adalah anggota yang memiliki jabatan di sana sebagai sekretaris. Waktu kosong yang ia miliki di kampus selalu ia buat untuk mengunjungi ruang di lantai 3 dekat dengan tangga yang dinamakan Ruang BEM.
Jam berdetak yang menunjukkan waktu pukul 16.00, membuat mereka tersadar untuk waktunya kembali keperaduan. Seperti biasa, mereka punya basecamp. Bukan bukan. Lebih tepatnya disebut halte spot. Setiap akan pulang, Febri, Io dan Arna pasti bertemu di tempat itu. Mereka berjalan bersama keluar dari lorong gedung. Tak sadar mereka dihadapkan oleh hujaman rintik air yang jatuh dari awan gelap. Senyuman riang yang terlukis diwajah dari perasaan senang mereka, begitu saja hilang. Kebingungan meliputi mereka untuk pulang. Hanya ada satu jalan untuk menuju parkiran mahasiswa. Jalan yang sudah bahas karna hujan yang cukup lama. Mau tidak mau, mereka harus melewati jalan itu.
Tak banyak berpikir, si the ice guy nyelonong dengan menutup atas kepalanya dengan tangannya yang lebar dan berlari kecil tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Arna melihat sisi cool man dari Io saat rambutnya yang lurus khas korea saat ini dan basah karna rintik air yang semakin menghujan. Seakan suara hujan dan suara bising lainnya tak terdengar oleh telinga Arna. Hanya Io yang terlihat oleh jernihnya mata Arna.
Mata Arna tak berkedip sampai akhirnya Febri menepuk pundaknya dan berkata, “Hei, ayo jalan! Bengong ajah”
Buyarlah pandangan Arna pada Io dan menoleh ke arah Febri yang berdiri tepat di sisi kirinya sambil berkata, “eh iyah, tunggu bentar.” Arna menutupi kepalanya dengan jaket jumper Liverpool hitam yang pernah Io hadiahkan saat ulang tahunnya yang ke 19.
“ayooo cepet-cepet!”, Arna berlari kecil ke arah Io dan disusul Febri di belakannya.
Dan lagi, untuk kedua kalinya dalam waktu yang berdekatan, Io membuat kesan cool man-nya itu dengan mengibaskan rambut basahnya akibat dijatuhi rintik hujan. Arna berada tepat di samping kanan motornya. Tak sadar mata Arna terbelalak melihat Io.
Sampai akhirnya Febri mengeluh dengan suara yang cukup keras, “ya Allah, datengnya hujan kenapa harus sekarang? Tunggu sampai kita pulang dooooonk, please please please.” Tidak hanya mengeluh, ia bercakap dengan hujan seakan hujan akan mengerti dan menuruti apa katanya.
“ssssttttt … ayooo cepet pake jas hujannya. Aku anterin pulang”, Io mengajak mereka berdua sambil ia mengenakan jas hujan hitam kesayangannya. Mereka pun menolak. Tepatnya bukan mereka, tapi Febri yang menolak.
“enggak aah, aku nunggu hujannya agak reda. aku nunggu disini ajah.”, tolakan Febri pada Io.
“kamu yakin Feb??”, ketidakyakinan Io terlontar dari pertanyaannya.
“iyah, bener deh. Males aaah pake jas hujan. Ribet! Na, kamu pulang sama Io yah ? gak apa-apa kan ?”, tanya Febri pada Arna.
Sebelum Arna sempat menjawab, Io langsung memotong percakapan Arna dengan Febri. “yaah udah kalo maunya gitu, Arna biar aku yang anterin.”
“Na, ayo ambil jas hujan mu, aku anterin pulang.”, Io langsung menyuruh Arna mengambil jas hujan yang dititipkan di jok motor Febri.
Tanpa kata apa-apa, jas hujan biru itu diambil dan dikenakan oleh Arna. Io sudah siap menunggangi motornya sambil menunggu Arna selesai mengenakan jas hujan.
Sambil naik ke motor Io, Arna pamitan ke Febri. “Feb, Aku duluan yah?”
“eh, ati-ati lho. Sendirian disitu ntar digodain sama mas parkiran.” Candaan Io pada Febri sebelum akhirnya motor yang mereka naiki melaju keluar area kampus.
“yeeeee dasar Io nakal, hati-hati yah kalian”, pesan Febri pada Io dan Arna.
Saat perjalanan, Arna baru sadar. Arna terdiam di tengah percakapan Febri dan Io saat di parkiran. Entah apa yang terjadi pada Arna saat itu. Seakan mulutnya tak mampu mengeluarkan kalimat atau bahkan kata-kata.
- Apa karna aku terkesima oleh si Cool Man ini yah? –
Aaaah, kenapa kalimat itu yang muncul. Arna berusaha menghilangkan kalimat itu dari pikirannya.
- We are just friend, yaaah kita adalah teman baik, sahabat baik -
Suara motor Io sudah terhenti tepat di depan rumah Arna. Perjalanan seakan begitu singkat karna hal yang memenuhi pikiran Arna selama perjalanan.
“jangan lupa hubungi Febri yah. Gimana kabarnya di kampus. Digodain gak sama cowok-cowok parkiran. Hahahaha.”, suruh Io pada Arna saat ia turun dari motornya.
“hahaha oke deh. Eh, makasih yah tumpangannya. Ati-ati kamu kalo pulang.”, pesan Arna pada si cool-man sebelum ia menjauh dan semakin menghilang di balik lebatnya hujan.
Mata Arna terpana melihat motor yang berjalan bersama pengendaranya, sehingga tak terasa tubuhnya semakin lama semakin sakit dihujani ribuan rintikan hujan. Suara wanita tua yang ia dengar dari dalam rumahnya, memecah pandangannya pada motor yang semakin menghilang di balik lebatnya hujan. Wanita tua itu adalah seorang malaikat yang telah melahirkan Arna.
“Na, ayooo masuk. Kenapa diluar terus ? Hujannya tambah lebat lho.”, mama Arna menyuruhnya untuk segera masuk ke rumah.
“Iyah ma….”, berlarilah Arna ke teras sambil melepas jas hujannya.
Terpikir Arna menanyakan kabar Febri yang masih berada di kampus. Sambil berjalan menuju mamanya, dan bersalaman, Arna mengeluarkan handphone Nokia miliknya.
Arna mengetik itu di Whats app nya dan ia kirimkan pada Febri. Mereka jarang menggunakan sms atau send message service, sepertinya lebih gaul menggunakan aplikasi yang akhir-akhir ini sedang ngetrend, yah selain menggunakan BlackBerry. Maklumlah, gak pake BlackBerry. Jadi memanfaatkan yang ada ajah. Dan untungnya, mereka bertiga memang bukan peminat BlackBerry.
Arna berniat untuk mandi sambil menunggu balasan chatting WA nya dengan Febri. Dengan handuk putih tulangnya yang ia lilitkan dileher. Terdengar suara mama Arna yang lantang mengatakan, “kak, sehabis mandi mama mau ngomong sesuatu sama kakak yah.”
“iyaaaa ma.”, sambil berteriak karna antara dapur dan kamar mandi kami jaraknya cukup jauh dan terhalang oleh jendela.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Hujan tak kunjung henti di area kampus. Walaupun sedikit lebih reda. Febri yang duduk sendirian di pipa besi pembatas antar baris parkir hanya ditemani hujan dan motornya, hanya mampu berdiam diri tanpa ada teman yang mengajaknya ngobrol. Sambil bermain air yang jatuh dari atas parkiran yang terbuat dari asbes, seakan ia menikmati pemandangan hujan turun. Cukup lama Febri duduk di pipa besi itu.
Sepertinya hujan memang sudah reda, hanya rintik gerimis yang tertinggal. Tak mengapa bagi seorang Febri untuk tidak menggunakan jas hujan warna kuningnya itu. Ia berniat untuk pulang. Saat akan berdiri, ia merasakan getaran dari handphone yang ia letakkan di dalam tas kuliahnya di bagian depan.
Tiing Tiiing Tiing
Suara handphone milik Febri yang mendapatkan chatting WA dari Arna.
.feb, kata io kamu gak digangguin sama mas-mas parkiran kan?
.hahahaha
.aku udah sampe rumah nih. Baru ajah sampe.
Febri hanya tersenyum melihat pesan itu. Kemudian membalasnya.
Dasar yah tuh anak,
Ini aku juga mau pulang. Kayaknya udah mendingan nih ujannya.
Na, aku pulang dulu yah.
Ntar kalo aku udah sampe, aku WA kamu lagi.
Daaaah…
Sehabisnya membalas chat Arna, Febri mulai mengeluarkan motornya dari barisan parkir yang sempit. Tanpa jas hujan, ia pulang mengendarai motor maticnya itu. Ya, itu yang dia inginkan. Sifatnya yang masih seperti anak kecil, dia ingin mengikuti nalurinya untuk bermain air alias hujan-hujan. Tapi apa daya, ia membawa tas kuliah yang berisi file-file kuliahnya yang harus terhindar oleh air. Hal itu yang membuatnya mengurungkan niat untuk mengikuti naluri anak kecilnya. Ia berlalu dengan motor maticnya itu ke jalan raya yang cukup padat untuk jam pulang kantor.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
"Aahhh segarnya! Maaaa, katanya mau ngomong?”, Arna menghampiri mamanya di meja makan lalu duduk tepat dihadapan mamanya.
Arna sedikit penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh mamanya. Sempat terpikir, Arna akan mendapatkan sesuatu yang istimewa dari mamanya. Yaaah, itu karna sudah 2 tahun ia menjadi anak yatim. Ia hanya hidup bertiga dengan mama dan adik laki-lakinya. Jadi wajar ia ingin merasakan hal yang istimewa setelah 2 tahun ia ditinggal oleh ayahnya tercinta. Tapi, Arna bukan seorang anak yang egois. Ia sangat mengerti bagaimana penderitaan mamanya yang sekarang harus menghidupi kedua putra-putrinya. Langsung saja Arna menghapus kalimat itu dari batinnya.
“kak, ini.”, menyodorkan box kardus dihadapan Arna yang tak disadari oleh Arna memang sudah cukup lama berada di samping kiri.
Penuh tanya dan raut wajah yang kaget, Arna menanyakan ke mamanya,”lhoo apa ini ma ? buat apa ma ?”
“ini buat kakak. Buka deh kak”, mama memaksa Arna untuk membuka kardus itu.
Arna tersenyum sambil membuka kardus yang mamanya berikan. Terbesit dalam pikiran Arna, bahwa itu memang hadiah untuknya. Tetap, Arna tidak mudah berpikir untuk kesenangannya saja. Mungkin saja itu kardus untuk aku menyimpan barang-barang asesoris Arna yang menurut mamanya sudah terlalu banyak dan mengakibatkan kamar Arna seperti kapal pecah. Atau mungkin kardus itu untuk bajunya yang sudah tidak dipakai jadi bisa disumbangkan ke panti asuhan oleh mamanya. Kalimat-kalimat itu terus menyelimuti pikiran Arna yang sibuk membuka kardus. Kardus itu memiliki beberapa lapisan. Entah, ini memang dibuat oleh mama atau bagaimana.
Sampai pada akhirnya, aku melihat merk ACER di kardus itu. Sambil tersenyum senang, Arna menatap mama. Mamanya hanya tersenyum melihat kegembiraan yang terpancar dari wajah Arna.
“ma, ini buat aku ?”, tanya Arna tidak yakin pada mamanya dengan raut wajah yang kembali shock.
“iya kak, itu buat kakak. Buat bantu kakak ngerjakan tugas-tugas dari kampus. Mungkin bisa yang lain juga. Mama ngerti, kakak pasti lebih tahu dari mama kan?”, penjelasan mama untuk meyakinkan Arna.
“mamaaa, makasih yah ma.”, sambil berlari ke arah mamanya dan memeluknya dengan erat, dan kemudian berlari ke kamar membawa laptop Acer barunya. Mama hanya tersenyum.
“kakak, enggak makan dulu?”, tawaran mama pada Arna.
“nanti malam ajah yah ma, makan malam sama mama. Sekalian nunggu adek. Yah ma ?”, sahut Arna dari kamarnya.
“ya udah, terserah kakak ajah”, sambil mama berpindah tempat ke ruang nonton tv.
Kegembiraan Arna tidak lengkap rasanya tanpa memberitahukan pada soulmates-nya itu, Febri dan Io. Arna langsung mengambil handphone-nya dan mengetikkan sesuatu di aplikasi Whats App-nya.
.hei hei,
.kalian udh dirumah kan?
.aku punya kabar :)
Cukup lama Arna menunggu balasan dari Febri dan Io tentang kabar gembira itu. Chatting Arna di grup chit.chat terdapat 2 centang, yang menandakan sudah terkirim. Yaaah, Whats App ini memang hanya memberi tanda terkirim saja, bukan tanda terbaca. Sampai 3 baris chat Arna di grup chit.chat. Sepertinya Io sudah istirahat. Mungkin ia berniat mengerjakan tugasnya tengah malam nanti. Jadi ia punya cara untuk tidur dulu sambil menyiapkan tenaga dan konsentrasi. Maklum sih, Io gak suka kebisingan. Sedangkan Febri, Arna berpikir positif saja bahwa Febri sedang perjalanan pulang ke rumahnya.
Sambil sibuk mengoperasikan laptop baru di atas kasur Liverpool-nya, Whats App Arna berbunyi. Ia berharap itu dari salah satu sahabatnya. Dan benar …
Apa na ?
Kamu punya kabar apa ?
Itu Whats App dari Io. Bukan Febri yang menjawab. Justru malah Io yang Arna pikir sudah molor di tengah pulau kasur. Mungkin saat itu Io hanya meluangkan waktu untuk membaca bukunya. Arna pun menjawab.
Febri hanya membalas sekali, dan selanjutnya percakapan terjadi hanya antara Arna dan Io.
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
* Gravity don't mean too much to me, I'm who I've got to be, These pigs are after me*
Suara musik hp Arna berbunyi. Lagu milik My Chemical Romance – Bulletproof Heart, semakin lama semakin keras dan membangunkan Arna dari tidur lelapnya yang seperti Putri Tidur.
Aaah , itu alarm hape Arna menunjukkan pukul 4.30 pagi. Seperti biasa, kewajiban Arna untuk sholat subuh. Dan yang menjadi kewajibannya sebagai seorang anak perempuan, ia pasti membantu mamanya untuk masak. Ia tidak pandai masak. Minimal, ia membantu memotong sayuran atau bahkan hanya menyajikannya di meja makan. Mandi sudah, Sholat subuh sudah, sekarang waktunya mengisi perut dengan menu sarapan lezat yang disiapkan mama.
Pukul 7 tergambar di jam dinding ruang makan, tapi seakan masih pukul 6 pagi. Tak sadar, Febri telah berada di depan rumahnya untuk menjemput Arna. Sejak kecelakaan ayahnya, Arna terlalu takut untuk mengendarai motor sendiri. Trauma masih membayangi Arna. Febri dan Io yang menjadi sahabat Arna, sudah sangat tahu harus bagaimana dengannya. Untuk kali ini memang giliran Febri yang menjemput.
Tiiin tiiiinnn …
“Arnaaa, Arnaaaa …”, teriak Febri di depan rumah Arna.
“ma, aku berangkat yah.”, sambil kebingungan mengambil tas dan hapenya di kamar.
“Assalamualaikum”, Arna selalu salam dan mencium tangan mamanya. Lalu lari keluar rumah.
Didepan pagar sudah ada Febri yang setia menunggu sahabatnya itu keluar.
“ma, kita berangkat dulu yah. Assalamualaikum.”, pamit Febri pada mama Arna. Arna dan Febri seakan menjadi saudara kandung dilihat dari lamanya kami bersahabat. Sampai Febri pun memanggil mama Arna dengan sebutan ‘Mama’ juga.
Arna akan melangkahkan kaki kanannya dan naik diboncengan Febri, tapiiii …
“astagaaaaaaaa …”, Arna menepok jidatnya.
“kenapa??”, tanya Febri kebingungan dengan tingkah Arna yang membuatnya kaget.
“LAPTOOOPPPPP!!!”, larilah Arna kedalam rumahnya dan langsung menuju kamar. Laptop yang sudah berada di tas jinjing laptopnya di atas meja, diraihnya tas itu dan kembali ke Febri.
“eh itu laptop yang kamu ceritain tadi malem yah? Yeeeeey , selamaaat yaaah na. Maaf yah, tadi malem chatmu gak sempet aku bales lagi. Rasanya capek deh. Sampe rumah, mandi, hhhmm trus langsung tidur deh.”, penjelasan Febri pada Arna.
“gak apa-apa lah Feb. Tapi kamu liat kan di chit.chat kita?”, tanya Arna.
Chit.chat adalah nama grup Whats App mereka. Enaknya gitu sih. Gak perlu ngetik ulang ke chat orang yang berbeda. Arna, Febri dan Io adalah member chit.chat. Grup itu Febri yang buat. Gayung bersambut, Arna dan Io pun memang pengguna Whats App. Jadi mereka tidak kesusahan untuk saling berkomunikasi dengan mudah.
Sebenarnya cukup mudah menggunakan Whats App. Febri membuat grup itu, awalnya karna ia mengotak-atik gadget-nya. Febri yang selalu memiliki rasa ingin tahu , jadi sering mencoba-coba hal baru. Ia membuat grup itu dengan mencoba menekan Option, lalu ia melihat ada pilhan New Group dan ia klik pilihan itu. Tanpa banyak berpikir, ia memasukkan nama grup chit.chat di Group Subejct. Yaaa, memang harus ada nama grupnya sebelum memasukkan kontak Arna dan Io sebagai member grup itu.
Febri memasukkan kontak Arna dan Io ke grup itu dengan menekan Add Participant. Ia memasukkan kontak Arna dan Io satu per satu. Member grup WA terbatas, hanya 30 kontak. Dengan mudah Febri, Arna atau Io ingin memberi info atau bahkan hanya ingin memanggil sahabat mereka. Sekali chatting, member yang lain akan mendapat pesan yang sama di whats app mereka.
“iyah, tadi pagi baru aku baca. Ntar kamu ke Io donk pulangnya?”, balas Febri.
“he’em, mampir ke rumah Io yah ntar pulang kuliah?”, permintaan Arna ke Febri.
Febri hanya mengacungkan jempol tangan kirinya pada Arna. Melaju dengan kecepatan tinggi di pagi hari, Febri seakan kerasukan setan jalanan. Ketakutan Febri untuk telat lagi
+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Awan gelap menyelimuti gedung kampus. Lebih dari 2 minggu ini terjadi. Bukan hanya di kampus, rumah mereka juga. Mungkin itu yang membuat mahasiswa berlarian untuk masuk ke gedung kampus. Seakan kondisi awan masih menunjukkan pukul 5 pagi, namun mereka tak sadar bahwa detik jam masih berjalan normal, seperti biasa. Terlambat. Kata itu yang sering menghantui mereka di waktu seperti ini. Bukan hanya mahasiswa itu, tapi Arna dan Febri juga.
Disudut pintu kelas, ada sesosok laki-laki yang tingginya hanya 167 cm bersandar di dinding sambil terus mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam. Begitu resah seakan menunggu seseorang. Arna dan Febri semakin mendekat dengan gerbang itu. Itu Io. Io menunggu Arna dan Febri dengan resah karna jam tangannya menunjukkan pukul 07.28. Sedikit lagi mereka akan terlambat.
“cepet cepet cepet!! Dua menit lagi, gak boleh masuk tuhh kalian”, tegas Io pada mereka berdua.
Matakuliah pertama hari ini akan menjadikan mahasiswa Univeritas Nugratama seorang Enterpreneur atau Technopreneur. Sepertinya itu yang digalakkan sekeras-kerasnya oleh Kementrian Pendidikan Tinggi. Mereka ingin menelurkan mahasiswa yang bukan hanya kuliah dan nanti mencari pekerjaan lalu akhirnya menjadi pegawai. Tapi mereka ingin menjadikan lulusan dari perguruan tinggi untuk lebih mandiri, bahkan mungkin mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Yakin. Pasti suatu keharusan setiap sekolah tinggi, universitas, institute, dan perguruan tinggi lainnya memiliki matakuliah yang satu ini.
Kerjasama antara Universitas Nugratama dengan DIKTI membuat Universitas mereka mengadakan matakuliah baru, yaitu Kewirausahaan. Kebanyakan mahasiswa menyingkatnya dengan Ka-We-U. Sebenarnya matakuliah ini bukan matakuliah baru juga. Kewirausahaan sudah menetap di universitas mereka sejak lama, tepatnya sudah 5 tahun yang lalu. Dalam satu kelas, bukan hanya jurusan manajemen tapi bisa sampai 2-3 jurusan berbeda. Salah satunya jurusan manajemen yang di dalamnya ada Arna, Febri dan Io. Bukan hanya beda jurusan, tapi juga beda tahun angkatan. Bahkan ada mahasiswa yang lebih tua 2 tahun dari angkatan mereka.
“selamat pagi, teman-teman.”, dosen yang masih muda itu menyapa murid didiknya sambil membawa fie yang ia dekap di dada. Dosen itu masih muda, tapi harus dipanggil Bapak. Kisaran umurnya masih 26 tahunan.
“selamat pagi paaaaak.” , membalas salam dosen itu khas anak-anak yang masih di bangku sekolah dasar.
“saya mulai saja yah perkuliahan kita hari ini.”, Pak Dito mengawali materi.
“Sejauh 12 kali pertemuan MK KWU ini, apa ada kesulitan ? Saya rasa tidak yah. Dari awal saya mengatakan DIKTI sudah menetapkan bahwa pengusul untuk proposal kewirausahaan ini harus berbeda tahun angkatan. Per kelompok terdiri dari 3-5 anggota. Jadi kalian bisa membuat kelompok sesuai yang kalian inginkan. Untuk kejelasan atau ada yang ingin ditanyakan dalam kesempurnaan pembuatan proposal, bisa langsung ke Klinik PKM tiap hari jum’at pukul 2 siang, untuk ruangan bisa dilihat di mading yah.”, jelas Pak Dito.
“Sudah tidak terasa yah 2 minggu lagi sudah ujian akhir. Sepertinya tidak akan ada ujian tulis untuk kalian.”, tambah dosen itu yang membuat mahasiswa sekelas gaduh, termasuk Arna dan Febri. Io hanya tersenyum, walaupun raut kesenangan itu terlihat jelas di wajahnya.
“Tapiiiii…. Saya ada tugas UAS untuk kalian.”, kalimat yang dilontarkan Pak Dito membuat lesu para mahasiswa.
“Tenang dulu. Memang ujian kalian bukan ujian tulis, tapi kalian harus mencari seorang entrepreneur yang menurut kalian sudah sukses. Per kelompok berisi 3-4 orang. Coba kalian tanyakan bagaimana entrepreneur itu memulai usahanya, apa saja tantangan yang dihadapi sebelum sampai akhirnya usaha mereka menjadi besar. Kalian bisa improve sendiri yah pertanyaan apa saja yang ingin kalian tanyakan yang berhubungan dengan entrepreneur. Untuk format tugas dan waktu pengumpulan, nanti saya infokan di mading. Sering-sering melihat pengumuman di mading yah. Satu lagi, wawancara ini akan dipresentasikan per kelompok. Siapkan laporan makalahnya dan powerpoint untuk presentasi. Nilai ujian kalian, saya ambil dari nilai presentasi.”, semakin jelas tugas yang diberikan pak Dito pada mahasiswa itu.
Arna, Febri dan Io tidak akan kebingungan untuk masalah kelompok, tapi siapa entrepreneur yang akan mereka wawancarai???
“Saya rasa, cukup sekian untuk hari ini. Jika ada yang ingin konsultasi, langsung saja datang ke meja saya yah. Terima kasih dan selamat pagi”, penutup dari Pak Dito.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
"Aaahhh , akhirnya.”, ucap lega Febri sesampainya di rumah Io.
“aku ambilin minum dulu yah.”, tawar Io pada dua cewek sahabatnya ini.
“sekalianlaaaaah sama makanannya. Hihihi.”, tambah Arna sambil cengengesan.
Io tak menjawab. Berlalu begitu saja ke arah lemari pendingin yang ada di ruang makannya. Favorit spot mereka tidak lain tidak bukan adalah teras rumah Io yang dingin dipenuhi dengan tanaman hijau yang menyegarkan mata. Tanpa ada sofa, mereka bertiga menikmati dinginnya lantai yang tertembus ke kulit mereka dari karpet merah yang mereka duduki. Sambil menunggu Io keluar dengan minuman di tangannya, Arna mengeluarkan laptop barunya itu.
“nih minum dulu. eeciyeeeee, yang laptop baruuuuuu. Hahaha. “, sambil menyodorkan minuman di baki yang ia bawa sambil menggoda Arna.
“aah Io aaah. ayooo benerin. Pokoknya disini udah lengkap. Belum aku bongkar kok isinya dari tadi malem.”, rengek Arna pada Io.
“Tunggu yah, aku mau ambil tempat CD ku dulu di kamar.”, sambil berlari ke arah kamarnya.
2 menit kemudian, “sini sini laptopnya!”, Io merampas laptop dari pangkuan Arna.
Febri yang biasanya memecah keheningan, tapi untuk sekarang ini ia menunjukkan raut wajah yang terlipat. Bad mood. Seperti macan yang tidak boleh diganggu sarangnya. Mata Febri selalu tertuju pada handphone yang ada di genggamannya. Tangan Febri pun terlalu sibuk untuk dengan terus menekan keypad hape itu. Dia resah. Gundah Gulana.
“eh Feb, kenapa diem ajah ? tumben?”, gurau Febri sambil mengotak-atik laptop.
“Feb, kenapa? Ada masalah sama Gembul?”, tanya Arna pada Febri tentang pacarnya. Hubungan mereka berjalan 2 tahun dengan cara jarak jauh. Long Distance Relationship. Gembul panggilan dari Febri untuk Danang, pacarnya. Danang sekarang kuliah di Jakarta.
“aku khawatir deh sama dia di Jakarta. Pengen ketemu. Tapi dia pulangnya masih lama, 2 bulan lagi. Telpon-an udah biasa, sms-an juga, WA-an apalagi.”, ungkapan Febri pada kedua sahabatnya itu.
“ya’elaaah, dibuat pusing banget sih. Tunggu deh sampe install-an driver ma aplikasi nih laptop selese. Aku kasih tau caranya pake Skype atau kalo gak Yahoo Messanger. Kalian bisa tuh webcam-an.”, jelas Io.
“webcam-an apaan?”, tanya Febri dengan wajah penasaran.
“oooh, aku tahu deh. Itu kan kayak telpon gitu yah. Tapi kita bisa liat wajah orang yang kita ajak telpon. Jadi kayak ngomong langsung gitu. Bener gak sih?”, Arna mengutarakan pengetahuannya.
“yups …”, jawab Io sambil menganggukkan kepalanya.
“pokoknya tunggu ajah yah. Nunggunya agak lama sih ini. Danang punya akun skype atau YM gak sih?”, tambah Io pada Febri.
“coba deh aku tanyain.”, Febri mengambil hapenya dan mengirim chat WA ke danang.
Tak berapa lama, Febri mendapat balasan lalu mengatakannya pada Io, ”ada nih katanya. Skype sama YM punya semua dia.”
“sip kalo gitu. Tenaaang Feb, gak usah bingung plus panik deh. Naaah, sambil nunggu install-an ini selese, mikirin buat UAS ajah yuk.”, ajak Io.
“aaaah, iyah yah. Harusnya kita keliling nih buat cari si entrepreneur itu. Kira-kira kapan yah bisa keliling ?”, tanya Arna yang berusaha mencari jalan keluar.
“eh, kalo sabtu gimana?”, tambah Febri.
“boleh sih. Gak apa-apa. Sabtu kan waktunya panjang tuh. Gimana na ? Kalo emang iyah, berarti sabtu besok ini yah kita mulai jalan.”, jawab Io sambil melirik laptop yang ada depannya yang sedang ia install.
“yaaah kalo aku sih oke oke ajah. Pertanyaan apa ajah nih kira-kira yang harus ditanyain? Coba aku tulis yah.”, ungkap Arna sambil menulis di binder-nya.
Ditengah obrolan mereka, Io sempat memotong pembicaraan. “Na, driver sama Windows 7 buat laptop mu udah. Nih tinggal aplikasi-aplikasinya. Kamu mau apa ajah? Kayaknya yang paling penting Ms. Office dulu lah yah. Aku ada Office 2010 nih.”, tawaran Io untuk Arna sambil membuka-buka tempat CD Io.
“mana-mana? Apa aja yang kamu punya? Office 2010, iya. Skype jangan lupa. Google Chrome juga. Aaaah semuanya deh. Hihihi.”, cerocos Arna tanpa henti.
“eh yah jangan lah. Jangan semua. Yang penting aplikasi yang sekiranya kamu butuh ajah dulu. Klo gak gitu ntar penuh lho harddisk internal mu. Mending yang penting dulu, kayak Office, Google chrome atau Mozilla, sama skype juga YM. Itu dulu aja kali yah. Emang sih kalo diliat dari kapasitas harddisk mu besar, 320 GB, tapi jangan kalap mata dooonk. Liat juga DDR3 memory-mu, itu cuma 1 GB. For Your Information ajah yah, kalo memory RAM mu cuma 1 GB gitu, jangan kebanyakan buka aplikasi barengan, bisa-bisa lemot dah lepi mu”, jelas Io.
“oooh gitu yah? Iyah deh, setujuuuu deh sama kamuuuu. Hihihi.”, Arna menuruti perkataan Io sambil menyodorkan jempol tangan kanannya di hadapan Io.
Seakan iri melihat kebersamaan Arna dan Io yang sedang sibuk dengan laptopnya, Febri memutuskan untuk memberi tawaran pada Arna, “sini na, biar aku nulis dulu pertanyaannya buat wawancara. Pumping ide ku lagi numpuk nih. Hahaha. Tumben kaaaan otak ku lagi berfungsi normal. Lagian kalian juga lagi sibuk tuh mbenerin laptop.’’, sambil menyaut kertas yang ada di hadapan Arna.
“hahaha, eciyee. Yang tadi galau sekarang semangat tuh buat bikin pertanyaan wawancara. Kayaknya nungguin install-an skype selese tuh. Hihihi.”, sahut Io sambil menggoda Febri.
“aaah Io, tauuu ajah deh. Jadi enak. Eh Jadi gak enak deh. Hihihi. Udah aaah, lanjutin tuh nginstallnya. Biarkan saya berkonsentrasi mencari pertanyaan wawancara yah teman-teman.”, Febri membalas candaan Io. Febri mencoba mendaftar list pertanyaan untuk wawancara tanpa mengganggu Arna dan Io.
“yah yah yaaah.”, jawab Io sambil tersenyum.
Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa kebersamaan mereka telah menghabiskan waktu berjam-jam. Tiga jam. Empat jam. Atau bahkan lima jam, tidak akan membuat mereka bosan jika bersama. Seakan saudara yang tak ingin terpisah, begitu pula dengan kebersamaan yang terjalin oleh Arna, Febri dan Io. Akhir-akhir ini, mereka terlihat selalu bersama. Mungkin karena sudah mendekati UAS, sehingga mereka tidak terlalu sibuk. Toh, tugas-tugas mereka sudah selesai semua. Mereka hanya perlu belajar untuk menghadapi UAS, kecuali UAS kewirausahaan.
Namun demikian, terkadang mereka masih terganggu dengan kegiatan mereka. Febri yang pasti akan sibuk dengan komunitas bolanya, Arna sibuk dengan BEM-nya yang akan mengadakan perekrutan anggota BEM yang baru, dan Io. Io tidak terlalu banyak kegiatan. Kesibukannya hanya membaca buku atau bahkan komik sambil memasang headphone dengan mendengarkan music kesukaannya, Pop Rock. Meskipun satu persahabatan, tapi diisi dengan 3 kepala yang berbeda dan isi pemikiran yang berbeda pula, tidak dipungkiri terjadi beberapa hal yang menguras emosi. Entah senang ataupun amarah. Yah, prinsip mereka. Mereka memilih pilihan itu, jadi mereka memang harus bertanggungjawab sampai akhir.
‘You started it, you have to finish it’
“Feb, gimana sama komunitas mu? Ada revolusi apa nih buat kedepannya?”, keingintahuan Io pada komunitas yang diikuti Febri.
“gimana yah? Sebenernya gak ada revolusi yang signifikan sih. Nobar-nobar gitu sih tetep, Palingan nanti kita ketemu sama komunitas bola per klub. Jadi sharing-sharing gitu. Kan biasanya ada supporter klub 1, yang biasanya benci banget sama klub 2, jadinya gak mau tuh berteman. Nah disini mau aku rubah tuh pemikiran kayak gitu. Meskipun beda klub, kita harus saling berteman. Pokoknya jangan ada benci-bencian gitulah. Toh, sepak bola itu untuk mempersatukan, bukan saling benci. Betul tidak??”, papar Febri pada Io dengan meniru gaya dan suara AA Gym.
“canggiiiiih deeeeh Feb. Setuju tuh.”, puji Io atas pemikiran Febri.
“iyah tuh Feb. Biasanya supporter satu sama supporter lain selalu gontok-gontokan. Saling musuh. Aaaah, bosen deh jadinya kalo liat pemandangan kayak gitu.”, tambah Arna.
“iyah sih, apalagi klub yang sering kalahan yah. Hahaha. Yah gak Na??”, Io menggoda Arna soal kalahnya Liverpool.
“tuuuh kan. Aaah Io aaah. Gini ini deh gak suka deh. Biarin deh kalahan, yang penting hatiku hanya untuk Liverpool. Puaaasss ???”, rengekan Arna yang ngambek karan Io coba menggoda Arna.
“ciyeeee, yang setia. Iyaaa iyah. Tau deh Liverpudlian sejati.”, lagi, Io menggoda Arna sambil mengacak-acak rambut Arna yang hitam sebahu.
“DONE! Udah semua nih. Laptop mu ….”, belum selesai Io bicara, Febri udah nyerobot pembicaraan, “mana mana? Ayo maen skype !!! nih aku dapet username skype-nya Gembul.”
“idiiih , nih anak nyerobot ajah kayak bajai. Semangat banget yah kayaknya. Iyaaah, ini nih. Io mau ngeadd username-nya Danang dulu.”, Arna coba mengambi hape Febri yang berisi username Skype Danang.
“tapiiii … pertanyaan buat wawancaranya belum selese nih? Gimana donk?”, resah Febri dengan raut muka sedih.
“udah gak apa-apa, ntar aku lanjutin sama Arna. Sini deh. Aku ajarin pake skype. Jadi bisa kamu praktekin di rumah.”, ajak Io agar Febri duduk tepat di sebelah kanannya.
Tanpa banyak bicara, Febri berlari kecil agar segera mencapai Io. Io diapit oleh kedua sahabatnya itu, Arna dan Febri.
Mulailah Io menjelaskan dengan sabar, “gini, coba aku bikin akun dulu yah, tapi atas nama Arna. Kan ini laptopnya Arna. Skype-nya udah diinstal tadi, sekarang aktifin aplikasi Skype-nya. Ntar bakal muncul nih gambar kayak gini. “
“Trus kalian harus pilih Create an Account, kan kalian belum punya akun Skype tuh. Kalo Sign In tinggal masuknya ajah.”
“Abis pilih Create an Account, kalian harus ngisi beberapa kolom ini”
“Kalian harus ngisi nama lengkap, nama depan, nama belakang, email yang kalian punya. Misalkan punya Yahoo, Gmail, Hotmail atau yang lain, bisa kalian masukin tuh di kolom ini. Di sebelah kanan itu kan ada tulisan Repeat email, di situ kalian harus ngulang email yang kalian masukin di kolom Your email address* itu.”, sejauh ini belum ada pertanyaan dari Febri dan Arna pas Io. Mereka hanya manggut-manggut menandakan jawaba ‘iya’.
“Sekarang coba aku masukin nama kamu yah, Na. Email mu apa na?”, tanya Io pada Arna.
“pake email yang arna.hutama@ymail.com ajah deh.”, Arna memberi alamat emailnya
Dengan penasaran, Febri bertanya, “trus Profile Information itu buat apa ? perlu diisi juga?”
Io pun menjelaskannya,” yups, bener banget. Isi kolom hari lahir, Jenis kelamin, Negara dimana kalian tinggal, bahasa yang digunakan. Nomer telpon juga perlu. Cantumin ajah nomer hape kalian. Trus pilih juga Mostly personal conversation. Kan disitu ada 2 pilihan, personal sama business. Kalo untuk kita sih pake yang personal ajah.”
Melihat langkah-langkah yang dijelaskan Io, Arna pun ingin mencobanya sendiri. “eh, aku coba donk. Sini aku input nama Skype ku sama passwordnya.”, sambil mengambil alih keyboard yang tepat berada di hadapan Io. Io hanya tersenyum dan mengacak-acak rambut Arna.
“aduuuh, ini huruf kok dempet-dempet gini sih. Gimana bisa keliatan coba?”, keluh Febri yang matanya terganggu dengan tulisan itu.
“sini-sini aku bantu. Aku ketikin ajah deh. Abis keisi semua, trus klik I Agree – Continue.”, tawaran bantuan dari Io.
“berhubung kita pake yang free, pilih yang No, Thanks yah. Klik Continue deh. Langsung ajah masukin Skype Nama plus passwordnya. Masih inget kan?”, lanjut Io.
“pas jadi newbie, biasanya ada dialog box gitu, pilih ajah continue di setiap dialog box-nya sampe ketemu dialog box yang ada Start Using Skype dan klik pilihan yang itu.”, tambah Io semakin menambah kejelasan Arna dan Febri.
“naaah, sekarang waktunya nge-add skype-nya Danang. Mana Feb usernamenya?”, tanya Io ke Febri.
Sambil menggapai hape yang berada jauh di depan dan mendiktekan username Skype Danang,” bentar bentar, username-nya danang.syahreza.”
“buat ngetest doank yah. Ntar kamu coba sendiri di rumah Feb. jadi bisa yayang-yayangan deh. Hihihii.”, dan lagi , Io menggoda Febri. Febri tersipu malu gara-gara perkataan Io itu.
“kalian lihat kan di sebelah kiri ini ada kolong Search? Input-in username danang.syahreza, trus klik Find This Person. Skype bakal nyari sendiri akun Skype dengan nama itu. Kalo udah, bakal muncul sendiri tuh dialog box ini.”
Dengan histeris, Febri berteriak tepat di telinga kanan Io, “itu,,, ituu,, itu Gembul.”
“ya ampuuun, histeris banget Feb. Tau deh yang kangen.”, mimik wajah Io yang kaget dan langsung menutup telinga kanannya.
“sabar dulu, ini belum di add. Abis nemu akun Skype yang cocok, langsung klik Add Contact. Trus kalo udah muncul dialog box kayak gini, pilih Send Request.”
“sekarang kalo mau video call gimana? ayo ayo.”, semangat Febri menggebu ingin menghubungi cowoknya itu.
“tenang donk Feb. Ini kan mau dicoba.”, Arna berusaha menenangkan semangat Febri yang membara itu.
“kalo mau video call, gampang. Kamu liat ada menu kan disini? Pilih menu Call, trus pilih yang Video Call, biar bisa liat muka cowokmu itu.”, jelas Io.
“berhubung cowokmu sekarang enggak online, jadi gak bisa deh video call an. Ntar coba sendiri yah dirumah.”, saran Io ke Febri.
“oke okeee deh. Pulang ini langsung aku coba aaaah. Hihihi.”, dengan kegirangan Febri mengucapkan kalimat itu.
Langit senja semakin menggelapkan dirinya. Seakan ingin menunjukkan pada Arna, Febri dan Io waktu semakin malam. Waktunya mereka untuk pulang.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Hari ini Sabtu, 10 Desember pukul 8.00 WIB. Seperti biasa, Febri telat menjemput Arna.
Sepertinya 2 minggu ini, Febri sedang ada masalah dengan adik tirinya. Febri tinggal dengan Ibu, ayah tirinya dan 2 adik perempuan tirinya. Febri tidak berharap itu terjadi, tapi demi kebahagiaan ibunya, ia rela “diduakan” oleh ibunya tercinta demi keluarga barunya.
Febri berniat mengatakan ketelatannya pada Arna melalui Whats App. Itu pun tidak sempat ia lakukan, karna adik tirinya membuatnya kesal dengan menyembunyikan hapenya di ventilasi atas pintu kamar mandi. Begitu keisengan adik tirinya setiap hari. Febri tidak pernah mau mengatakan kondisi itu pada Ibunya. Bad Mood, lagi. Seharusnya menjadi pagi yang cerah karna Febri akan bertemu dengan Io dan Arna. Namun, akibat situasi itu Febri selalu menunjukkan raut wajah yang benar-benar tidak enak untuk dilihat.
“bu, aku berangkat!!!”, teriak Febri karna Ibunya berada di taman belakang.
“iyaaa sayang, hati-hati.”, Ibu Febri membalas dengan berteriak pula. Karna suara Ibu tenggelam, terkalahkan oleh suara motor yang akan dikendarai Febri.
Selama perjalanan, Febri seakan ingin menangis. Matanya mulai berkaca-kaca. Saat itu keceriaan Febri hilang, lenyap tanpa sisa. Tangisan Febri coba ia tahan. Terus ia tahan sampai di rumah Arna. Sesampainya di rumah Arna, Io sudah sampai duluan dan mengobrol dengan Arna di depan pagar rumah. Seakan mereka benar-benar akan berangkat dan meninggalkan Febri. Tangisan Febri tidak pecah, justru ia berusaha menyembunyikan kesedihannya dihadapan Arna dan Io.
“maaf yaaah, aku telat.”, sambil menunjukkan muka sok sedih, tapi sebenarnya memang benar-benar sedih dan Bad Mood.
“gimana sih Feb, udah jam berapa ini ? Satu menit itu berharga buat kita. Gimana sih?”, Arna sedikit mengeluarkan kekesalannya pada Febri.
“ya ampuuuun, biasa ajah kaliii gak usah gitu. Kalo gak kita yang jemput, kamu gak bakal berangkat juga kan. Pake ngomong gitu.”, emosi Febri pun semakin menjadi. Belum reda suasana hati di rumahnya, ditambah lagi dengan perkataan Arna yang menyulut emosinya. Arna sedikit kaget dengan kalimat yang dilontarkan Febri.
“apa siiih ini. Udaah aaah udaaah. Pagi-pagi harusnya seneng, ini kok malah emosi gak karuan gitu sih. Kenapa sih kalian ini. Ayo laaah berangkat ajah!!”, Io berusaha melerai perdebatan mulut antara Arna dan Febri. Sambil menggandeng tangan Arna dan menyeretnya untuk naik diboncengan motor Io.
Io membiarkan Febri sendiri dengan motornya. Mereka berputar-putar mengelilingi pusat kota. Belok kanan, belok kiri, lurus. Kami berusaha mencari Enterpreneur untuk diwawancarai. 3 jam mereka mengelilingi Surabaya bahkan sampai masuk ke mall-mall. Menurut mereka, belum ada seorang entrepreneur yang masuk kriteria mereka. Hari itu bukan awan mendung yang menyelimuti bumi, tapi matahari yang sangat membara menunjukkan sengatan panas di kulit Arna, Febri dan Io.
Motor mereka jalan berdampingan. Arna yang saat itu memperhatikan jalanan, dengan mudah mengatakan dan menunjukkan arah kanan atau kiri. Hingga akhirnya Febri merasa terganggu dengan perintah Arna. Febri menghentikan motornya di pinggir jalan yang begitu ramai dengan pedagang kaki lima. Io pun mengikutinya, berhenti tepat di samping kanan motor Febri.
“Io, ke kanan deh coba.”, ucap Arna.
“Hei ke kiri, kok ke kanan sih?’’, Febri membalasnya.
“ngapain ke kiri? Itu di kanan jalan ada beberapa distro. Coba kesana donk.”, jelas Arna sambil ngotot.
“heh, enak banget kamu yah kalo ngomong. Tinggal dibonceng ajah merintahnya kayak gitu. Kalo mau sana cari sendiri. Naik motor sendiri sana. Jangan merintah doank.”, suasana hati Febri semakin memanas. Terdiamlah Arna setelah mendengar kalimat itu dari mulut Febri.
“Feb!! apaan sih?”, Io mencoba menengahi dengan emosi yang sedikit keluar.
“terus deh, terus ajah, terus ajah bela tuh anak.”, Febri merasa iri dengan sikap Io yang membela Arna.
“FEB !! STOOOP!!! Udah lah, kalian kenapa sih nih? PMS? Hah? Dari tadi pagi kok emosi ajah. Kalo gini terus, udah lah pulang ajah. Tenangin diri kalian dulu. Ayolah pulang ajah. Besok diterusin lagi.”, Io menghidupkan motornya dan pulang mengantarkan Arna ke rumahnya. Febri menyusul dengan raut wajah yang kesal dan tentunya emosi.
Tugas mereka dari Io hari ini adalah merenungkan perbuatan Arna dan Febri masing-masing.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Minggu pagi yang cerah, seharusnya membuat perasaan seseorang menjadi tenang dan lebih fresh. Tapi tidak untuk Io, si The Ice Guy itu. Peristiwa di jalan kemarin membuat Io bertanya-tanya kenapa kedua sahabatnya seperti. Seakan Io tak mengenal sahabatnya lagi. Io pusing sampe menggaruk-garuk kepalanya. Berpikir tentang soulmate-nya itu, hampir membuat Io melupakan tugas wawancara mereka.
Dengan pikiran yang penuh, Io mencoba relaks di teras rumahnya. Mata Io memang terasa gatal jika melihat koran atau majalah di sekitarnya nganggur. Ambisinya untuk membaca sangat besar. Ia penasaran dengan koran yang berada di atas meja, tepat di sisi kirinya. Koran itu ia raih dan ia baca. Sepertinya penghilang stress seorang Io adalah membaca. Lembar per lembar, koran itu ia buka dan ia baca. Sampai akhirnya Io membuka halaman koran yang membuatnya girang.
Io masuk ke dalam kamarnya dengan membawa koran tadi. Ia mengambil hapenya dan mengirim chat WA pada Febri. Febri hanya menjawabnya singkat.
Tak berapa lama, Febri sampai di rumah Io. Saat akan turun dari motornya, Io berteriak pada Febri,” jangan turun, ayo iku aku.”
Febri heran, “Mau kemana sih nih sebenernya?”, Io hanya terdiam.
“kamu bawa apa tuh?’’, tanya Febri yang penasaran dengan koran yang digenggam Io.
“sssttttt…...”, Io risih karna Febri yang terlalu banyak tanya.
Io mengeluarkan motornya dan jalan terlebih dahulu. Febri membuntuti motor yang dikendarai Io dari belakang. Sepertinya Febri tahu Io akan kemana, yaaah rumah Arna. Untuk kali ini, mereka harus meninggalkan ego mereka masing-masing untuk tugas yang satu ini. Tugas ini menuntut profesionalisme sebagai kelompok yang solid.
“heh heh Io, ngapain ke sini sih?”, Febri terganggu dengan cara Io mengajaknya ke rumah Arna.
“Arnaaaaa !!!”, Io menggenggam tangan Febri sambil berteriak ke arah rumah Arna.
“iyaaaa.”, raut muka Arna yang sebelumnya biasa-biasa ajah, berubah menjadi cemberut.
“masuk deh”, tambah Arna.
Sebelum masuk, Io duduk di kursi teras.”sini ajah”.
Io membuka koran yang ia bawa dan menunjukkan halaman yang isi beritanya seorang entrepreneur, “ini diaaaa. Namanya Yoga ‘Sinyo’ Nugraha.”
“mana ada kata Sinyo? Ngarang nih.”, Arna tidak percaya dengan Io.
“kalian tahu gak, dia itu temen ku waktu SMA. Aku masih ada nomer hapenya. Nih sama kan. Lihat deh.”, papar Io sambil menunjukkan nomer hp Sinyo yang ia simpan di hpe.
“berarti kita bisa donk ngewawancarai dia. Kan kamu juga ada nomer hpenya.”, Arna mencoba mencari jalan keluar.
“eh tunggu deh. Tapi posisinya sekarang, dia lagi di Bandung tuh.”, tambah Arna.
“pake skype ajah. Wawancara dari skype. Coba Io, kamu tanyain usernamenya Sinyo.”, Febri langsung memotong pembicaraan.
“Great Idea!!! Coba aku telpon yah?”, Io menghubungi Sinyo, teman SMA-nya itu dan meninggalkan Febri dan Arna bedua. Ini cara Io agar Arna dan Febri bermaafan dan kembali ke suasana semula, sebelum peristiwa kemarin terjadi.
Untuk beberapa saat, mereka berdua tidak sedikitpun memulai berbicara, hingga pada akhirnya Arna menjulurkan tangannya untuk berjabatan tangan dengan Febri. Arna bukan orang yang gila maaf. Entah siapa yang memulai permasalahan dulu, Arna selalu merasa tidak enak hati sehingga ia yang selalu meminta maaf terlebih dahulu. Awalnya Febri hanya melirik tangan Arna, tapi akhirnya Febri luluh dan menyambut jabatan tangan hangat Arna. Selanjutnya, merekapun berpelukan dan membentuk senyuman indah di wajah mereka. Saat itu tidak ada satupun kalimat yang keluar dari mulut Arna dan Febri. Mereka hanya menggunakan bahasa tubuh. Hanya beberapa menit Io menghubungi Sinyo, jadi cukup banyak waktu untuk memperhatikan Arna dan Febri saat itu. Io membiarkan mereka berdua larut dalam kegembiraan.
Io jalan ke arah Arna dan Febri dan duduk tepat di tengah mereka. “nah gini donk. Kan enak diliatnya.”, sambil mengacak-acak rambut Arna dan Febri.
Tak terima rambutnya diacak-acak, Arna dan Febri berniat untuk membalas Io. Mereka menghitung 1 sampai 3 untuk mengacak-acak rambut Io.
” 1… 2… 3…. Hahaha! Rasain deh kamu Io”, Febri dan Arna tertawa puas dihadapan Io.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Janjian wawancara telah dibuat oleh Io dengan Sinyo. Pulang dari kuliah, Arna, Febri dan Io bergegas ke mall. Mereka ingin melakukan wawancara di restoran. Bukan bermaksud untuk sok mewah, tapi mereka ingin suasana yang lebih menyenangkan untuk melakukan wawancara dan tentunya yang memiliki fasilitas Wi-Fi. Setelah lama berjalan-jalan keliling mall, akhirnya mereka menemukan restoran yang menurut mereka agak sepi karna saat itu belum waktunya makan siang, jadi suasananya nyaman digunakan untuk wawancara.
Mereka mencari spot yang sekiranya nyaman. Akhirnya, mereka memutuskan untuk duduk di meja yang paling pojok dengan sofa yang menempel di dinding, sambil melihat pemandangan jalan raya dari kaca di sisi kanan meja mereka. “nih laptop nya. Oh iyah, tolong tanyain username sama passwordnya Wi-Fi resto ini donk Feb.”, permintaan Arna pada Febri dan mengarahkan laptopnya di hadapan Io.
Febri menghampiri waitress yang berdiri di meja kasir untuk menanyakan hal itu. Dengan senang hati, waitress memberikan kertas khusus yang isinya username dan password Wi-Fi. Febri pun kembali ke meja mereka dan menaruhnya di meja.”nih, aku udah dapet.”
“makasiiiih, Febriii”, sambil Io mengambil kertas yang ada meja.
“sama-sama Iooooo”, candaan selalu keluar dari mulut mereka.
Febri memanggil waitress untuk memesan menu makan dan minum. Mau tidak mau, yang menggunakan fasilitas restoran itu, pasti memesan makanan atau minuman.
“Na, mana kertas pertanyaan wawancaranya? Di kamu kan ?”, tanya Io.
“iyah nih, ada di aku. Bentar yah.”, Arna mengambil kertasnya di tas. “Ini diaaaa”, lanjut Arna. “eh iyah , aku tadi liat mading , jadwal presentasi KWU kita hari selasa tanggal 20 Desember 2011 di ruang kelas QP105.”
Io sudah mendapatkan username Sinyo untuk ditambahkan di akun Skype Arna dan tinggal di-add ajah. Io menghubungi Sinyo lagi agar ia online Skype. Tanpa Io menghubungi Sinyo, ternyata Sinyo sudah online.
Selama 2 jam, mereka melakukan wawancara. Wawancara berjalan dengan nyaman, tidak ada ketegangan, justru yang ada wawancara yang santai, asik, dan menyenangkan. Sinyo adalah seorang entrepreneur muda yang pemikirannya luas. Bahkan ia memberi beberapa motivasi yang bisa diterapkan oleh anak muda.
“Jangan menjadi orang yang hanya pintar, tapi jadilah orang yang memiliki motivasi tinggi”
Tak terasa, wawancara telah selesai mereka lakukan. Banyak hal yang mereka dapat dari Sinyo. Mulai dari motivasi sampai cara manajemen waktu yang dilakukan oleh Sinyo. Hasil wawancara sudah di tangan. Dokumentasi wawancara pun juga sudah di tangan. Sekarang yang mereka lakukan adalah menyusun hasil wawancara itu menjadi sebuah laporan makalah dan persiapan untuk presentasi.
“kayaknya akhir-akhir ini kita bakal jarang ketemu deh Na, Feb. kalian bentar lagi pasti sibuk sama kegiatan kalian. Febri udah ada rencana kunjungan komunitas supporter bola per klub. Belum lagi kamu Na, pasti sibuk sama perekrutan anggota BEM yang baru. Iyah gak sih???”, resah Io yang diungkapkan pada Arna dan Febri.
“iyaaah yah. Terus gimana donk ini?”, Febri menambah keresahan mereka.
“kalo itu, bisa diakali kok.”, Arna mencoba membantu menyelesaikan masalah.
“kemarin aku coba otak-atik Word 2010. Di situ ada fasilitas Track Change.”, papar Arna.
“apa itu?”, Febri yang otaknya dipengaruhi dengan tanda tanya yang besar.
“gini Feb, kalo pake Track Change, kita bisa ngerjainnya secara kolaborasi. Satu dokumen Word bisa kita kerjain bersamaan kok. Caranya gini nih.”
“Misalkan Io ngetik dulu sebagian hasil wawancaranya di Word 2010. Abis gitu aktifin Track Change yang ada di ribbon menu Review. Trus di save ke word document. Artinya Word yang 2010. Aku misalkan dokumen ini yah?? File ini belum mengalami perubahan apa-apa.”, jelas Arna.
“Abis di save, Io bisa langsung ngirim ke aku atau ke Febri. Misalkan kamu ngirim ke Febri, trus di download deh sama dia. Febri mau nambahin atau hapus, bahkan ngasih formatting perubahan di beberapa item di file ini, pasti bakal ketahuan deh sama Io meskipun kamu gak ngasih tau Io, Feb.”
Febri penasaran,”lho kok bisa gitu?”
“Soalnya, ntar Io harus nge-aktifin Original: Show Markup. Jadinya kayak gini ntar.”
“Keliatan banget yah ada merah-merahnya gitu. Itu artinya ada penambahan atau perubahan di file itu. Semua perubahan bakal kelihatan di samping kanan itu. Apa perubahannya dan siapa yang merubahnya.”
“Kalo mau yang lebih jelas, bisa klik Reviewing Pane. Nah, ntar bakal keluar pane di sebelah kiri kayak gini”
“ini hasilnya.”
“naaaah, enak kan kalo kayak gitu. Jadi gak perlu bikin beda-beda dokumen dengan nama yang beda. Tugas selesai, gak perlu ribet. Bener gak ?? hihihi.”, penjelasan Arna sambil menanyakan pendapat Io dan Febri.
“iyaaah yah. Enak gak perlu banyak-banyak dokumen. Biasanya kalo ada dokumen baru, harus ganti namanya dulu, File-Baru, atau File-1. Aaah , ribet. Kalo gini sih enak.”, ucap Febri dengan perasaan lega.
“pinteeeeernyaaa Arna.”, Io memuji Arna sambil mengacak-acak rambutnya sambil tersenyum.
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Tiba waktunya hari yang sibuk itu menghampiri tiga sekawan ini. Arna dan Febri tidak dapat selalu menemani Io untuk mengerjakan tugas wawancara mereka. Arna, setiap hari harus selalu menampakkan batang hidungnya di rapat-rapat yang diadakan oleh BEM. Febri, dia bahkan pulang larut malam untuk terus Meskipun jarang bertemu dan mengerjakan bersama, mereka terbantu dengan adanya Track Change, fasilitas Word 2010. Dengan begitu, tugas kuliah dengan kegiatan kampus tidak akan banyak terganggu. Tugas kuliah untuk UAS selesai, begitupun dengan kegiatan kampus yang masih bisa berjalan dengan lancer.
Io memang bukan seorang cowok yang egois, bahkan jika kedua temannya itu benar-benar sibuk, ia sanggup mengerjakan itu sendiri. Sebagai seorang mahasiswa yang mampu mengatur waktu, Arna dan Febri tidak ingin menyerahkan tugas-tugas itu pada Io. Pembagian tugas sudah ditentukan. Io membuat kerangka awal di Word 2010, lalu ia kirimkan ke email Arna. Menurut Io, Arna masih bisa mencuri waktu, walaupun sedikit-sedikit. Sedangkan Febri, ia selalu di luar. Ia tidak pernah menetap karna selalu survey di luar. Jadi Febri hanya bisa mengerjakan saat malam hari. Tapi Io juga merasa lega, karna sebentar lagi Febri dan Arna akan regenerasi dari kegiatan mereka.
Kali ini, Io yang akan mengerjakan powerpoint-nya untuk digunakan presentasi. Ia memang tahu betul bagaimana kesibukkan kedua temannya itu. Semakin hari, semakin mendekati waktu dimana mereka akan presentasi. Makalah mereka sudah siap, powerpoint juga siap untuk dipresentasikan di depan kelas.
Sekarang giliran kelompok Arna, Febri dan Io maju untuk presentasi. Io memberikan print out laporan di meja Pak Dito, dan mulai mempresentasikan, “selamat pagi, pada kesempatan kali ini, kami kelompok 3 akan mempresentasikan tentang seorang entrepreneur muda dari Bandung.”
Presentasi mereka berjalan kurang lebih 30 menit, termasuk presentasi dan tanya jawab. Pak Dito juga merasa puas dengan presentasi mereka.
“Bagus, saya senang dengan presentasi kalian. Presentasi yang detail dan kalian juga menyediakan dokumentasi sebagai bukti. Dengan begini, saya tidak akan ragu-ragu memberikan kalian nilai A. Beri applause untuk kelompok 3.”, sambil memberi nilai pada makalah mereka dilanjutkan dengan memberi tepuk tangan pada kelompok mereka.
Ujian presentasi di hari terkahir ujian, berjalan lancar dan sukses, sesuai dengan keinginan mereka Mereka merayakan hari-hari dengan selalu bersama dan makan-makan. Budget mereka sebagai anak kuliahan memang tidak besar, jadi mereka lebih memilih merayakan di kedai dekat kampus mereka.
“yeeeeey !!!! hari terakhir ujian !!! ayooo ke Pak Jon yuuuuuk ???”, Febri kegirangan.
“ayoooooo !!!!”, Io yang jadi cowok satu-satunya saat itu, berada di tengah-tengah sahabat ceweknya. Sambil berlari dan berlagak seperti Raja Minyak dari Arab, Io merangkul Febri dan Arna.
Persahabatan memang tidak akan pernah luntur. Sifat ego yang mereka miliki, membuat mereka belajar untuk semakin saling mengerti satu sama lain. Bagi Arna, persahabatan memang lebih penting dari apapun, tak terkecuali perasaannya pada Io. Mungkin, perasaan Arna memang harus disimpan di hati saja. Tidak perlu Io tahu apa isi hatinya.
***