Untitled Tin
Sore kunikmati dengan tenang, di teras ditemani semilir angin. Entahlah, angin semakin kencang dengan membawa awan gelap yang mulai menutupi pandanganku akan senja yang begitu cantik. "yaaa mendung, bentar lagi ujan apa ya" , dalam hati.
Coba kuabaikan mendung itu dan masuk ke dalam rumah. Rumah kecil dengan toko kecil di depannya. Rumah ku tak sebesar rumah-rumah seperti tetanggaku yang lainnya.
Rumah yang berhadapan langsung dengan Lapangan serbaguna milik kampungku, mulai digunakan untuk olahraga Badminton, Futsal, Volley dan bahkan untuk beberapa penyuluhan warga kampung.
Namun ada hal yang patut dibanggakan adalah kampung ku termasuk dalam daftar teratas Kampung Green n Clean yang selalu menjadi kunjungan warga Mancanegara karena kehijauan dan keasriannya.
"dek, mama sama ayah mau ke supermarket yah setelah Maghrib, kamu dirumah, jagain tokonya", ujar mama.
"es krim coklat ya ma", sambil tersenyum manja ke mama.
Adzan Maghrib pun terdengar. Kami bertiga Sholat berjamaah, sebelum akhirnya mama dan ayah belanja. Tinggalah aku dirumah sendirian. Toko ku pun saat itu masih sepi.
Perutku keroncongan. Toko kutinggalkan sejenak. Kurasa aman. Mencari sesuatu di dapur, tapi yang kudapat sisa sup jagung yang dibuat Mama tadi siang. Tak rewel soal makanan, kuambil saja sup jagung itu.
Klonthang
Ada seseorang kah ? Seseorang atau "sesuatu" menjatuhkan sesuatu. Cepat-cepat ku berlari ke depan menuju toko. Agak takut sih, karna aku sendirian ditambah petir yang makin membuatku kaget. Ku siapkan teflon bergagang sebagai senjataku. Mengendap-endap ala Detektif menyergap penjahat. Telat!!!
Lelaki tinggi putih dengan kemeja putih itupun sudah berbalik dan menepis tanganku. "ganteng Eh kok ganteng sih nih cowok ?", tubuhku membeku, pandanganku lurus padanya. Dia hanya memandangku, tanpa tau arti apa yang kuucapkan dan tanpa melakukan apapun. Wajahnya dingin, tampan tapi garis wajah tempramen terlihat. Sekilas sebaya denganku.
"hey kamu siapa ? Cari apa ? Mau beli sesuatu ?," ku interogasi dia. Dia pun masih terdiam, mungkin shock. Hanya bersuara, hhmm hhmm, seakan dia ingin menjawab tapi tak mampu berkata-kata.
"bisa bahasa indonesia?", tanyaku lagi.
Duh bener-bener gak bisa bahasa Indonesia kah nih cowok. Mikir keraslah aku.
"can you speak bahasa or english Sir ?", tanyaku lagi sambil mencari kemungkinan terburuk jika Dia tidak bisa 2 bahasa yang ku tawarkan.
Barulah dia mencoba menjawab dengan terbata-bata, "little bit english and bahasa".
Kutunda makanku, gegara kupikir ada maling, membuatkan tak lapar saking adrenalinku naik. Tugasku sekarang dengannya. Lelaki ini. Siapa dia ? Muncul tiba-tiba. Cowok putih tinggi berparas menawan dengan sedikit cool tanpa senyum sedikitpun ini tiba-tiba muncul di rumahku. Sendirian. Bukan orang Indonesia. Bahasa Inggris dan Indonesia yang minim.
"Anda siapa ?", ku coba Bahasa Indonesia formal.
"Tin", akhirnya dia menjawab. Dia lebih paham menggunakan Bahasa Indonesia Formal. Aku pun makin penasaran.
"Dari mana asal Anda?", lanjutku.
"Thailand", jawabnya.
"hah, Thailand ? Kenapa tiba-tiba kesini ? Kok bisa dateng kerumahku ? Beneran dari Thailand ?", saking shocknya, cercaan pertanyaan bertubi-tubi ku layangkan. Alhasil, terdiamlah dan raut muka yang bertanya-tanya muncul dari wajahnya.
Kenapa ada warga Mancanegara disini yah. Setahuku tidak ada kunjungan dari Mancanegara atau dari manapun ke kampung hari ini. Wajah sebayaku seperti ini harusnya masih Mahasiswa.
"permen ?", tanya yang membuatku tersentak dari lamunanku.
"looking for candy ? Really ? What candy ?," pertanyaan yang bikin shock. Tin cuma mencari permen. Dia pikir toko ku menyediakan Permen yang dia mau. Ini sangat menggelitik. Rasanya mau ketawa, tapi takut dosa aku sih.
Coba kuarahkan menuju toko yang ada di komplek sebrang kampungku. Aku lupa. Tin tidak begitu paham apa yang kukatakan dan dia baru disini. Apalagi sekarang hujan. You're in trouble hun. No, i'm in trouble. Mau gak mau, aku yang harus membelikan permen untuknya.
Eh siapa dia siapa guweh
Tak peduli semenawan apapun dia, disini aku cuma membantu. Jadi ku ambil payung, kuajak Tin ke toko yang ku maksud. "follow me", ucapku pada Tin. Memang agak jauh. Kasian sih, ganteng, harus basah-basahan. Ya, biarin sih, namanya cowok kudu usaha kan yah.
Jalan beriringan dibawah payung, masih gak habis pikir aja cowok secakep Tin ini kebingungan cuma mau nyari permen. Gak begitu jauh dari rumah, Tin merasa kebasahan, iba lah aku.
"stop, you can wait for me, i'll buy you the candy", ucapku pada Tin.
Baliklah aku ke rumah. Ku minta Tin menunggu ku sembari membelikannya permen ke toko sebrang komplek. "dont go anywhere, promise me ?", perintahku padanya. Dia hanya mengangguk tanpa mengucap apapun. Penurut. Ku minta contoh permen yang ia maksud. Tak berapa lama, aku berlari dalam hujan menuju toko tujuanku.
Aku ragu meninggalkannya sendirian di teras. Ya, tak sebodoh itu aku menyuruhnya masuk rumah untuk menunggu. Ku minta Tin duduk menunggu di teras rumah. Keraguan ku makin memuncak ketika ku berdiri di depan gerbang komplek ku yang masih bisa melihatnya dari kejauhan. Berusaha ku tepis keraguanku,"ah gak apa-apa kutinggal bentar, cepet belinya langsung balik rumah. Iya, it's gonna be okay."
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirku. Aku tertegun dengan semua kalimat yang ia lontarkan pada ayah. Bahasa Indonesianya lancar, hanyar sedikit tercampur logat Thailand. Sebelum keluar, ia menghadapku dan mengambil bungkusan permen dari tanganku. Terima kasih, ucapnya sambil tersenyum seolah lega mengerjaiku.
Sambil memberikan salam (Wai : salam asal Thailand), ia mengatupkan telapak tangannya dan sedikit membungkuk, kemudian tersenyum menghadap kami semua. Dan pergi berlalu.
Perasaan yang bercampur aduk. Shock. Marah, tapi karena ketampanannya, rasa marahku berubah menjadi rasa kesal yang, ah kenapa bisa ketipu sama tuh cowok sih. Merasa lucu juga dengan kebodohan yang sudah kulakukan.
Urusanku bersama ayah belum selesai. "ayaaaaaaaaahhhh....", kuluapkan rasa kesalku pada ayah. Kuceritakan semua yang kualami ketika ayah dan mama tidak di rumah saat itu dan akhirnya Tin, si dingin itu datang ke rumah dan sangat membuatku malu. Entahlah apa yang kulalukan jika bertemu dengannya suatu saat nanti. Mungkin ku tak punya muka untuk bertemu dengannya karena rasa malu hari ini.
~~~~~~~~
Jalan beriringan dibawah payung, masih gak habis pikir aja cowok secakep Tin ini kebingungan cuma mau nyari permen. Gak begitu jauh dari rumah, Tin merasa kebasahan, iba lah aku.
"stop, you can wait for me, i'll buy you the candy", ucapku pada Tin.
Baliklah aku ke rumah. Ku minta Tin menunggu ku sembari membelikannya permen ke toko sebrang komplek. "dont go anywhere, promise me ?", perintahku padanya. Dia hanya mengangguk tanpa mengucap apapun. Penurut. Ku minta contoh permen yang ia maksud. Tak berapa lama, aku berlari dalam hujan menuju toko tujuanku.
Aku ragu meninggalkannya sendirian di teras. Ya, tak sebodoh itu aku menyuruhnya masuk rumah untuk menunggu. Ku minta Tin duduk menunggu di teras rumah. Keraguan ku makin memuncak ketika ku berdiri di depan gerbang komplek ku yang masih bisa melihatnya dari kejauhan. Berusaha ku tepis keraguanku,"ah gak apa-apa kutinggal bentar, cepet belinya langsung balik rumah. Iya, it's gonna be okay."
Sampai di toko, sialnya antrian panjang harus kulalui demi sebungkus permen. Selama menunggu antrian, masih kupikirkan siapa sih Tin ini. Keperluan apa yang sampai memkasanya harus datang ke kampungku. Tenggelam dengan pikiranku sendiri, tak sadar akhirnya ku bertemu dengan kasir. Kuselesaikan transaksi, bergegas ku berlari kembali ke rumah menemui Tin. Syukurlah, hujan sudah berhenti.
Kembali ke rumah, ternyata Tin sudah tidak ada di teras. Tapi mama dan ayah sudah kembali dari belanja. "ma, yah, cowok di depan tadi kemana ? Ada cowok kan tadi di teras ? Ayah liat ?", coba ku yakinkan bahwa yang kulihat nyata, bukan seseorang yang kasat mata.
"ooh Tin, sudah ketemu yah", jawab ayah dengan santainya.
"ayah kenal ?", makin jadi rasa penasaranku.
"iyah ayah lupa bilang, bakal ada mahasiswa study exchange kampus ayah yang mau ke rumah, ayah pikir gak jadi, yah udah ayah tinggal aja sama mama keluar. Eh tau tau muncul si Tin. Bukan salah ayah donk". Ayahku seorang Dosen jurusan Hubungan Internasional di Universitas yang tidka jauh dari rumah kami.
"lha trus si Tin kemana sekarang? Dia kan gak bisa pake bahasa kita, gatau deh bahasa inggrisnya ngerti apa gak", tanyaku pada Ayah. Tetiba ayah menunduk dengan menahan tawanya. Tin keluar dari dalam kamar mandi kami dengan menggunakan Blangkon di kepalanya. Ini semakin tidak jelas menurutku. Ada apa sih ini.
"Terima kasih pak. Saya akan bawa ini ke kampus besok. Hujan telah reda, waktunya saya kembali ke Dorm."
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirku. Aku tertegun dengan semua kalimat yang ia lontarkan pada ayah. Bahasa Indonesianya lancar, hanyar sedikit tercampur logat Thailand. Sebelum keluar, ia menghadapku dan mengambil bungkusan permen dari tanganku. Terima kasih, ucapnya sambil tersenyum seolah lega mengerjaiku.
Sambil memberikan salam (Wai : salam asal Thailand), ia mengatupkan telapak tangannya dan sedikit membungkuk, kemudian tersenyum menghadap kami semua. Dan pergi berlalu.
Perasaan yang bercampur aduk. Shock. Marah, tapi karena ketampanannya, rasa marahku berubah menjadi rasa kesal yang, ah kenapa bisa ketipu sama tuh cowok sih. Merasa lucu juga dengan kebodohan yang sudah kulakukan.
Urusanku bersama ayah belum selesai. "ayaaaaaaaaahhhh....", kuluapkan rasa kesalku pada ayah. Kuceritakan semua yang kualami ketika ayah dan mama tidak di rumah saat itu dan akhirnya Tin, si dingin itu datang ke rumah dan sangat membuatku malu. Entahlah apa yang kulalukan jika bertemu dengannya suatu saat nanti. Mungkin ku tak punya muka untuk bertemu dengannya karena rasa malu hari ini.
~~~~~~~~